Lembaga ini muncul sebagai salah satu pelaksanaan Visi Susilo Bambang Yudhoyono, yakni memberantas tindak pidana korupsi. Korupsi sendiri secara bahasa berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Sedangkan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), artinya kejahatan ini dilaksanakan secara sistematis, berdampak luas, dan sulit sekali dicari pelakunya. Karena itu, menurut Prof.Satjipo Rahardjo, seorang ahli hukum dan guru besar di Universitas Diponegoro mengatakan bahwa dalam menangani kejahatan luar biasa seperti korupsi ini, maka harus dilakukan dengan cara-cara yang juga luar biasa. Maka munculnya KPK adalah salah satu jawaban dari tindakan luar biasa yang dimaksud ini. Karena KPK memiliki wewenang yang luar biasa, seperti dapat menyadap, mencegah orang untuk keluar negeri, membuka data pribadi nasabah di bank, dan sebagainya.
Hasilnya bisa kita lihat, berdasarkan data yang saya peroleh dari Harian Terbit, Sejak tahun 2004 hingga 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menahan sekitar 339 koruptor. Dari jumlah itu, pejabat eselon I hingga III menempati posisi tertinggi sebagai terdakwa korupsi. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, memaparkan sejak 2004-2012 tercatat ada 339 terdakwa kasus korupsi yang ditangani KPK. Dari jumlah itu didominasi oleh oknum pejabat eselon mulai eselon I, II dan III sebanyak 103 orang. Kemudian kalangan anggota DPRD dan DPR sebanyak 64 orang. Urutan tiga terbanyak kemudian diisi pelaku terdakwa korupsi oleh swasta yakni mencapai 58 orang. Selanjutnya diikuti oleh kalangan bupati/wali kota sebanyak 31 orang. Selain itu, koruptor dari berbagai kalangan intelektual lainnya seperti menteri/kepala lembaga, duta besar, komisioner/dosen, gubernur, hakim, jaksa serta penegak hukum lainnnya.
Berdasarkan prestasi yang telah ditorehkan oleh KPK di atas, maka sudah sewajarnya jika masyarakat menempatkan KPK sebagai lembaga yang terpercaya, lembaga yang diharapkan mampu menegakkan hukum secara adil dan maksimal. Namun saat ini, harapan itu menjadi terusik dan seakan-akan menjadi harapan kosong, hal itu bukan tanpa sebab, dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 240 juta, jumlah personel KPK hanya mencapai 700 orang, bisa anda bayangkan 700 orang harus mengurusi 240 juta penduduk Indonesia, dan itu ditambah dengan banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Organisasi Fund for Peace merilis indeks terbaru mereka mengenai Failed State Index 2012 di mana Indonesia berada di posisi 63. Sementara negara nomor 1 yang dianggap gagal adalah Somalia. Dalam membuat indeks tersebut, Fund for Peace menggunakan indikator dan subindikator, salah satunya indeks persepsi korupsi. Dalam penjelasan mereka, dari 182 negara, Indonesia berada di urutan 100 untuk urusan indeks korupsi tersebut. Indonesia hanya berbeda 82 dari negara paling korup berdasarkan indeks lembaga ini, Somalia.
Selain terkait dengan jumlah personil KPK yang masih sangat minim, masalah lain yang tidak kalah penting adalah mengenai KPK yang ada di daerah, selama ini KPK hanya terpusat di Jakarta, padahal masalah korupsi ini lebih banyak terjadi di daerah-daerah seperti yang telah dipaparkan oleh vivanews.com pada minggu, 5 Agustus 2012:
“ kasus korupsi di daerah berdasarkan data Kemendagri, sepanjang 2004 hingga 2012, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang terlibat kasus kriminal. Di antara kasus-kasus tersebut, kasus korupsi adalah kasus terbanyak dengan jumlah 349 kasus atau 33,2 persen. Sepanjang periode itu pula, sebanyak 155 kasus korupsi melibatkan kepala daerah.”
Artinya jika keterlibatan kepala daerah dalam kasus korupsi ini hanya diselesaikan secara terpusat, maka hal ini tentu saja tidak efektif. Ini terbukti dengan kelanjutan dari berita tersebut yang menyatakan KPK baru menyelesaikan 37 kasus, dari 155 kasus korupsi yang ada.
Persoalan yang ketiga adalah perseteruan yang terjadi antara KPK dan POLRI. Perlu diketahui sebelumnya, para penyidik yang ada di KPK ini dahulunya merupakan penyidik yang berasal dari POLRI, dan untuk penuntutnya berasal dari Kejaksaan. Tentu saja ini terjadi di sebabkan KPK yang merupakan lembaga baru belum memiliki penyidik dan penuntut sendiri, artinya lembaga ini belum bisa mandiri dan masih mengandalkan sumber daya manusianya dari Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini tentu saja akan menjadi masalah ketika para penyidik dan penuntut yang notabenenya berasal dari kepolisian dan kejaksaan harus menangani kasus yang justru melibatkan kedua instansi tersebut. Tidak hanya ada rasa sungkan, keterlibatan emosional akan turut serta dalam menyelesaikan perkara ini. Karena walau bagaimanapun, bisa jadi orang yang akan mereka tangani adalah mantan atasan, komandan, atau bahkan rekan sejawat mereka saat dulu di kepolisian dan kejaksaan.
Dari ketiga persoalan di atas, maka ketika saya menjadi ketua KPK saya akan mencanangkan beberapa program sebagai solusi dari persoalan tersebut, yakni:
- Saya akan membentuk KPK di daerah;
- Saya akan membuat sekolah khusus KPK.
Mengenai pembentukan sekolah KPK, mungkin konsepnya sama seperti STAN (Sekolah Tinggi Administrasi Negara) yang dipersiapkan kementrian keuangan untuk mencetak para sumber daya manusia yang akan langsung di tempatkan di berbagai kantor pajak di daerah atau instansi keuangan pemerintah lainnya. Sekolah KPK inipun dibentuk untuk mempersiapkan para SDM yang nantinya akan bekerja di KPK, bisa sebagai penyidik, penyelidik, atau penuntut. Ini menjadi sangat penting karena dengan adanya sekolah KPK, lembaga KPK ini tidak lagi kebingungan untuk merekrut personilnya, hal ini sekaligus menjawab persoalan tentang penyelidik, penyidik maupun penuntut yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan, serta menjawab persoalan minimnya personil yang dimiliki KPK. Dan sekolah KPK ini menjadi sinergis dengan adanya kebutuhan KPK di Daerah yang berarti akan membutuhkan banyak sumber daya manusia.
Sumber : http://bongsire.wordpress.com/2012/11/22/jika-aku-menjadi-ketua-kpk-versi-lengkap/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar