Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan di setiap Negara di dunia ini. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman.[1] Ada juga pandangan yang meyakini bahwa pendidikan adalah wahana untuk memproduksi kesadaran para peserta didik agar bisa terbebas dari berbagai macam belenggu, termasuk di dalamnya belenggu kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya demi terciptanya sebuah kehidupan yang lebih adil, makmur, dan sejahtera.[2]
Di Indonesia sendiri, Pendidikan merupakan hak setiap warga Negara, hal ini di atur dalam pasal 28 C ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: ‘Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Hal ini tidak terlepas juga dari cita-cita Negara yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke-4 yakni melindungi segenap bangsa, dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia.
Pada pelaksanaannya, Negara juga berkewajiban untuk menjamin terlaksananya pendidikan bagi warga negaranya. Hal ini secara lebih jelas di atur dalam Pasal 31 UUD NRI 1945: (1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang di atur dengan undang-undang, (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Seberapapun besarnya konstitusi dan hukum kita mengatur tentang hak-hak warga Negara dalam memperoleh pendidikan, namun pada kenyataannya banyak di daerah-daerah Indonesia yang cenderung dalam melaksanakan proses pendidikan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh konstitusi maupun undang-undang. Ini juga tidak terlepas dari peranan pemerintah yang masih minim dalam memberikan perhatian pada masalah pendidikan ini, terutama pada masalah biaya. Praktek di lapangan menunjukkan, hampir seluruh sekolah yang ada di Indonesia, tidak ada yang sama sekali bebas dari biaya, walaupun konstitusi telah mengatur sebaliknya, kalaupun ada biasanya sekolah tersebut terletak di daerah terpencil dengan fasilitas sarana dan prasarana yang memprihatinkan.[3] contohnya adalah di kota malang. Oleh karena itu, pada tulisan kali ini, kami akan mencoba sedikit membahas terkait masalah pendidikan di kota malang.
B. PEMBAHASAN
Dalam pembahasan kali ini, kami akan menguraikan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan pada satu tempat, yakni kota malang, berikut hasil yang kami dapatkan:
Kami melakukan studi dengan metode wawancara, Wawancara ini dilakukan bersama ibu Sri Sayekti, aktivis Forum Masyarakat Peduli Pendidikan, di kantor MCW, 12/4/2013. Wawancara seputar isu pendidikan terjangkau bagi masyarakat. menurut beliau, pendidikan terjangkau adalah sebuah keharusan karena itu adalah amanat UUD 1945 yang harus direalisasikan. Di dalam pembukaan UUD NRI 1945 telah jelas bahwa cita-cita Negara di antaranya melindung segenap bangsa, dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pada pembukaan UUD NRI 1945 tersebut telah jelas bahwa, salah satu kewajiban Negara bagi adalah mencerdaskan kehidupa bangsa, artinya Negara berkewajiban dalam mencerdaskan bangsa (masyarakat) nya salah satunya melalui pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. ini diperkuat dengan adanya undang-undang yang mewajibkan seluruh masyarakat untuk mengikuti pendidikan wajib 9 tahun.
Secara ideal, misi dalam mencapai cita-cita bangsa melalui pendidikan direalisasikan melalui pendidikan gratis bagi warga negaranya, atau minimal pendidikan dengan biaya murah dan terjangkau. namun pada kenyataannya, pendidikan terjangkau belum sepenuhnya dapat terwujud karena beberapa kendala, di antaranya yang paling utama adalah banyaknya pungutan (liar) yang dituntut oleh sekolah, padahal pemerintah sudah memberikan dana bagi pendidikan sesuai dengan posnya masing-masing. Kenyataan pahit tersebut ditambah lagi dengan kontroling pemerintah yang lemah terhadap sekolah-sekolah negeri yang memberikan pungutan liar, seakan hanya melakukan pembiaran, inspeksipun dilakukan tidak dengan serius, tapi hanya formalitas yang turun saat ada kasus yang muncul ke permukaan yang telah diungkap oleh pihak FMPP atau pihak orang tua. Ini menjadikan masyarakat terkadang berfikiran bahwa biaya-biaya yang harus mereka keluarkan adalah biaya yang diarahkan oleh pusat, dan menjadikan mereka berfikir ulang untuk menyekolahkan anak-anaknya, walaupun himbauan pemerintah akan sekolah wajib 9 tahun ini terus menerus di sosialisasikan.
Selain itu, faktor yang kedua adalah mengenai peraturan yang multitafsir dan kurang jelas, ini menjadi celah bagi sekolah-sekolah yang akan melakukan pungutan liar, karena memang di dalam perda di mungkinkan adanya pemungutan tambahan bagi biaya operasional sekolah, salah satunya adalah raperda kota malang. Di dalam pasal 110 ayat (1) raperda sistem penyelenggaraan pendidikan kota malang bagian kedua tentang sumber pendanaan pendidikan disebutkan bahwa dana pendidikan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dapat bersumber dari: a. APBD; b. bantuan Pemerintah/Pemerintah Provinsi; c. bantuan dari pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orang tua/walinya; d.bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau e. sumber lainnya yang sah. Namun, di ayat ke (3) disebutkan bahwa Dana Pendidikan yang bersumber dari peserta didik atau orang tua/walinya dilakukan berdasarkan musyawarah dan sukarela, pelaksanaannya agar memperhatikan kondisi daerah, dan kondisi lingkungan setempat.
Antara ayat 1 dan ayat 3 ada sebuah kerancuan, maka pada ayat 3 inilah yang memungkinkan sekolah untuk memungut biaya dari peserta didik atau orang tua/wali yang dilakukan dengan musyawarah terlebih dahulu. Akan tetapi, kenyataannya musyawarah yang dilakukan kebanyakan berupa sosialisasi tentang biaya yang dibutuhkan dan akan di bebankan kepada para peserta didik atau orang tua/wali, bukan musyawarah yang dimaksud dari raperda tersebut.
Selain itu, dari hasil observasi yang kami lakukan, kami juga mendapatkan beberapa catatan terkait dengan raperda sistem penyelenggaraan pendidikan ini, yakni:
Catatan dasar Pasal 14 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan : Idealnya Perda dibuat untuk menjalankan 3 hal, diantaranya :
- Penyelenggaraan Otoda dan Tugas Pembantuan;
- Menampung kondisi khusus di daerah; dan
- Penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
- UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP;
- PP No. 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah (Dicabut oleh PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan);
- PP No. 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (Dicabut oleh PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan);
- PP No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah (Dicabut oleh PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan);
- UU No. 12 tahun 2012 tentang Fakir Miskin;
- UU No. 14 tahun 2008 tentang KIP;
- UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
- UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
- PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan;
- PP No. 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan;
- Kepmendikbud No. 44 tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar;
- Peraturan2 menteri dibidang pendidikan; dan
- Peraturan perundang-undangan lainnya.Banyak materi (batang tubuh)
- Pasal 31 ayat (2) ada dalam pasal 139 PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan;
- BAB VIII tentang Wajib Belajar telah diatur oleh PP No. 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Meskipun ada beberapa perbedaan, misalnya pada peningkatan Wajar dari 9 tahun menjadi 12 tahun, namun tidak diimbangi oleh kebijakan pembiayaan yang menjadi kewajiban pemerintah daerah.
- Pasal 55 dan 56 copy paste dari Permendiknas No. 044/U/2002 tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dan telah diatur dalam pasal 192 s/d pasal 197 PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan;
- BAB XII tentang Standar Pendidikan telah diatur oleh PP No. 19 tahun 2005 tentang SNP (Standar Nasional Pendidikan);
Raperda SPP masih memasukkan Badan Hukum Pendidikan (BHP) dalam BAB XXI, hal mana UU BHP sebagai rujukan dari Raperda telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK-RI);
Dalam pasal 14 ayat (5) huruf b mengaburkan tentang biaya yang seharusnya tidak dibebankan kepada peserta didik untuk tingkat pendidikan dasar (SD/SMP) yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah.
Masih banyak konten/pasal-pasal yang tidak jelas dan tumpang tindih satu sama lain dalam Raperda SPP, misalnya :
- Definisi warga kota : pasal 32 ayat (1), BAB X, dll.
- Pasal 7 : Penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah, Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota), Masyarakat. Masyarakat dimaksud adalah kelompok warga negara, ini mestinya masuk dalam ketentuan umum. Cross chek pasal 22, pasal 25, dan pasal 29.
- Pasal 21 : Penyelenggaraan pendidikan diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka. Ini menutup adanya perkembangan teknologi yg memungkinkan pendidikan jarak jauh. Cross chek pada pasal 1 angka 24 tentang definisi pendidikan jarak jauh.
Banyak ketentuan yang mewajibkan namun tidak ada sanksi. Artinya kewajiban-kewajiban tersebut tidak memiliki pengaruh apapun jika tidak dilaksanakan. Bahkan sanksi pidana yang diberikan terhadap perbuatan pidana justru mengkerdilkan ketentuan pidana yang sudah ada. Lihat pasal 99, meskipun pasal 100 menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana juga dapat dikenakan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, namun hal tersebut bertentangan dengan asas nebis in idem yang menyatakan bahwa terhadap perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya.
Berikut, kami lampirkan hasil wawancara dengan narasumber (transkrip disederhanakan):
- Bagaimana kondisi biaya pendidikan di kota malang?
Ironisnya, seperti DPRD kabupaten, bupati, Dinas pendidikan, walikota, sudah tahu, tapi ada pembiaran, Karena selagi masyarakat “mau” dipungut.
- Apakah ada sekolah yang benar-benar bersih dari pungli?
- apa saja yang sebenarnya dibayarkan siswa selama bersekolah?
- Kontrol pemerintah bagaimana mengenai pungutan dalam pendidikan ini?
- Apa yang kita lakukan selanjutnya?
C. KESIMPULAN
Dari hasil observasi yang dilakukan di dua tempat berbeda, yakni kota malang dan kabupaten jember, kita dapat menyimpulkan bahwa secara ideal, biaya pendidikan (terutama SD-SMA) seharusnya memang gratis dan sudah tidak diperlukan lagi biaya pungli sebagaimana yang terjadi pada kota malang, hal ini sebenarnya di akibatkan oleh beberapa hal, di antaranya ketidakjelasan aturan daerah mengenai pendidikan, perhatian masyarakat yang tidak secara jeli dan teliti mengkritisi peraturan maupun pungli yang dilakukan oleh sekolah, serta lemahnya kontrol pemerintah terkait pelaksanaan pendidikan ini.
Sumber : http://bongsire.wordpress.com/2013/04/14/observasi-sederhana-tentang-pendidikan-wajib-9-tahun-di-kota-malang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar